NU Lama atau NU Baru?

Disunting dari buku 'Ngakak Bareng Gus Dur' karya Muhammad Wahab Hasbullah (Penerbit Insania Yogyakarta, 2010), Gus Dur diundang oleh mantan Presiden Soeharto ke kediamannya di Jalan Cendana untuk berbuka puasa Ramadan bersama.

Gus Dur ke Cendana tak datang sendiri, tetapi ditemani oleh Kiai Asrowi. Setelah buka puasa dan salat magrib berjamaah. Kemudian dilanjut minum kopi, minum teh, dan makan, terjadilah dialog antara Soeharto dan Gus Dur.

Soeharto: Gus Dur sampai malam kan di sini?

Gus Dur: Enggak pak! Saya harus segera pergi ke tempat yang lain.

Soeharto: Oh, iya ya ya.... silaken. Tapi kiainya kan ditinggal di sini, ya?

Gus Dur : Oh, Iya Pak! Tapi harus ada penjelasan. 

Soeharto: Penjelasan apa? 

Gus Dur: Shalat tarawihnya nanti itu 'ngikutin' NU lama atau NU baru?

Mendengar ucapan Gus Dur itu, Soeharto jadi bingung. Baru kali ini dia mendengar ada NU lama dan NU baru. Kemudian dia bertanya. 

Soeharto: Lho, NU Lama dengan NU baru apa bedanya? 

Gus Dur: Kalau NU lama, tarawih dan witirnya itu 23 rakaat.

Soeharto: Oh Iya..ya.. gak apa-apa.

Gus Dur sementara diam tak lagi berbicara. Sejurus kemudian Suoharto bertanya lagi.

Soeharto: Lha, kalau NU baru bagaimana?

Gus Dur: Diskon 60 persen! Hahaha... jadi shalat tarawih dan witirnya cuma tinggal 11 rakaat.

Kontan saja jawaban Gus Dur membuat Soeharto dan semua orang yang ada di sekitarnya ngakak mendengar dialog itu.

Soeharto: Ya sudah, saya ikut NU baru saja, pinggang saya sakit